13 Februari 2019

Kabarmu?


Jika ada yang bertanya kabar, selalu kujawab dengan, ‘aku baik’ tanpa berharap ada pertanyaan lanjutan. Aku tak bisa berbasa basi seperti ; bertanya kabar, sibuk apa atau sekadar bertanya gimana kerjaan?, karena aku tak suka ditanya seperti itu. Kalau ditanya, akan kujawab seadanya terkadang. Ini hal yang berlaku untuk orang baru yang kutemui.

How was your day?

Bukannya itu jawaban yang meleahkan bahkan menyebalkan? Aku harus mengulik apa yang aku kerjakan seharian. Moodku akan tetap baik jika yang terjadi hari itu adalah hal-hal yang baik, tapi jika tidak, ingin sekali kulalui saja dengan senyuman tapi terkadang hari yang tidak baik itu ada.
Aku ingin banyak belajar lagi tentang basa basi itu, seakan aku belajar jadi peduli. Padahal aku jadi sok peduli dan egois, agar aku ditanya kembali.

Sekarang 2019, belum ada yang nanya, ‘kapan kamu nulis lagi?’ tapi pertanyaan sudah berganti menjadi, ‘kapan mau nikah?’ kemudian aku menyeringai.

Tuntunannya berubah, dulu yang perlu aku lakukan adalah sekolah yang rajin, lulus kuliah tepat waktu, dapet kerja, kemudian pertanyaan selanjutnya ditanyakan perihal pasangan dan naik pelaminan. Padahal semuanya butuh proses. Dari taman kanak-kanak sampai lulus sekolah menengah butuh waktu 12 tahun dan butuh 4 tahun untuk lulus kuliah, walaupun dapat diskon waktu itu. Lulus di 3 tahun dan 8 bulan tapi butuh 6 bulan untuk dapat kerja. Apakah orang lain tidak butuh semua proses itu? Memang aku yang menjalani semua rangkaian yang berlangsung lama itu dan semuanya menyenangkan. Kemudian sekiranya sudah memenuhi siklus hidup seperti ini, haruskah aku juga terus-terusan melanjutkan siklus selanjutnya? Yang kupikir, tidak akan membuat aku puas dengan siklus yang kulakukan saat ini.

Sudahkah aku bertanya apa mauku? Belum. Yang ingin aku lakukan adalah aku ingin terus berjalan saja seperti ini, tanpa perlu peduli apa yang orang lain katakan.

Sudah susah aku menulis sepanjang ini, semua terasa membosankan, bagiku.


Hi re,
Kamu selalu jadi yang terbaik. Jangan lelah. Bersemangatlah dengan pilihan yang kamu pilih.

Re, 2019

9 November 2018

Find an Answer



Ketakutan dari sebuah perjalanan bukan lagi bagaimana perjalanan ini dimulai, tapi kemana dan bagaimana perjalanan ini akan berakhir.

--

Tiba-tiba sebuah keraguan muncul di saat bersamaan dengan tiga orang kawan yang siap-siap berpindah dan berlabuh ke pekerjaan baru. Untuk aku, yang kuanggap seorang yang mandiri dan tidak takut untuk berjalan sendiri, akhirnya menjadi ragu sendiri. Ditambah lagi akan sebuah perdebatan panjang dengan diriku sendiri sejak beberapa bulan belakangan ini, apakah harus lanjut atau berhenti saja. Aku belum paham kemana aku berjalan, kupikir aku baik-baik saja ketika semua orang bersiap pergi dan pindah suatu waktu. Ternyata tidak juga, sebenarnya tidak salah untuk tetap tinggal, tapi aku punya janji dengan diriku sendiri. Aku siap pergi tapi aku belum tahu harus kemana. Jauh atau dekat, sendiri atau bersama, dan apa tujuan untuk tetap tinggal dan begitu pula kenapa harus pergi.

AKU BELUM BISA MENEMUKAN JAWABANNYA.

Sekitar agustus lalu, seorang kawan sempat bertanya, “Kamu yakin siap pergi untuk kuliah lagi atau ini hanya solusi jangka pendek yang kamu pikirkan dan aman untuk kamu lakukan? emosi sesaat bukan?” cukup menyita pikiranku sampai saat ini. Memang ini hanyalah emosi sesaat yang kupikir, bisalah jadi cara untuk ‘melarikan diri’ sejenak. Tapi aku belum kepikiran kemana aku harus berjalan selanjutnya.

Dan lima hari terakhir menjadi hari yang cukup lelah, badan mulai nolak untuk berkegiatan tapi mesti kerja dan report sana sini. Ini pun sudah mengambil satu hari untuk istirahat dan ini masih menjadi sebuah kekhawatiran orang tua di rumah. Setelah sekian lama, bisa bolak balik klinik dua kali dalam seminggu. Pertanyaan untuk pergi dan tinggal pun muncul dalam lima hari ini. Aku ingin memutuskan untuk berhenti sejenak tapi aku belum menemukan apapun yang ingin kulakukan selain menulis ini. Lain cerita dengan yang aku katakan dengan seorang kawan dua hari lalu. Kukatakan padanya untuk membuat Do List yang ingin dia kerjakan sekarang dan dia capai. Ternyata aku masih sama dengannya.

Kalau ditanya apa yang aku pikirkan sekarang, aku memikirkan apa yang harus aku kerjakan hari senin ini. Berada di lingkungan kerja yang cukup keras dan harus berjalan sendiri untuk semua hal yang harus aku kerjakan. Aku yang bekerja sesuai logika, hampir selalu tidak terima ketika harus bekerja yang bukanlah tugasku tapi menjadi kesalahanku ketika itu tidak berjalan baik atau sekadar mengerjakan tugas yang memang tugasku tapi tetap menjadi kesalahanku sendiri karena tidak bisa memenuhi masuk akalnya orang lain. Bekerja dibawah banyak tekanan – bukan lagi bekerja dibawah tekanan – dari banyak atasan yang sulit untuk berkomunikasi satu sama lain, itu ribetnya tidak bisa diungkapkan. Leader satu minta A, satu lagi minta B, satu lagi minta C, dan lain lagi minta DEFGHIJxxxZ dalam waktu bersamaan. Compliment? Jangan tanya, tetap saja jadi sasaran empuk kalo ada kesalahan.

Ini menjadi salah satu ketakutanku untuk tetap tinggal. Tentu saja, namanya juga kerja ya selalu ada tantangan. Tapi tidak dengan mentalku.

Keraguan dan ketakutan ini belum pergi sampai saat ini, entah dari mana awalnya berasal. Banyak resiko yang harus kutanggung dan tentu saja ini bukanlah harapan orang tuaku, mereka ingin aku tetap tinggal. Toh ini kerja.

Ketakutan yang kurasakan ini membuat aku jauh melangkah meninggalkan orang-orang yang aku sayang. Aku merasa cukup untuk melihat mereka dari jauh, merasa aman ketika tahu mereka ada untukku ketika aku hanya butuh menyapa, dan merasa tetap ada ketika mereka siap merangkulku ketika aku berada dekat. Banyak orang yang kutinggalkan, tanpa kabar, tanpa sapa, dan apapun itu. Aku ingin menjauh pergi karena takut kehilangan mereka dengan arti sebenarnya.

--

Apa yang harus kutuliskan untuk ending cerita ini?

8 September 2018

How was your days?

Cerita bulan lalu, yang tak sempat terupload - 2 minggu yang sibuk setelah liburan. Liburannya padahal tengah bulan lalu. 

----


Pagi itu aku lagi makan semangka, as usual membiasakan diri untuk makan sehat lagi setelah liburan seminggu lalu. I ate what I could eat when I traveled. Tiba tiba ada seorang rekan kerja yang memberikan komentar, kira kira begini, "rere nih udah makan sehat, makannya buah, tapi kenapa masih sering sakit ya?", saat itu memang lagi gak enak badan sampai hari ini aku menulis. Alasanku adalah karena memang kelelahan dan banyak makan sembarangan.



Bukan sekali dua kali aku sakit selama kerja ini, hampir setiap sebulan sekali. Ada aja penyebabnya, dari AC yang emang dingin banget, cuaca yang gak menentu, dan bisa jadi karena makan gak teratur lalu tidur kurang. Sudah cukup buat aku tepar keesokan harinya. Satu dua rekan kuceritakan perihal ini, mereka menerima excuse ku setiap waktu aku lagi sakit. Tapi dari setiap bulan itu, aku hanya izin sakit 2 hari. Kok bisa? Aku cerita kan sesuatu.

Jadi begini, ketika aku sakit pun aku tetap usahakan masuk kerja selama itu aku masih sanggup berjalan dan berdiri. Hari ini, aku masih sanggup berjalan tapi duduk pun aku masih sering pusing.

Sejak umur 5 tahun, aku di diagnosa punya penyakit gejala tipus. Sudah sempat masuk rumah sakit di umur 5 tahun untuk beberapa hari. Aku ingat betul saat itu, saat aku harus ke dokter dengan bujukan kaset sherina, minum air putih yang banyak sampai berbotol botol, hingga akhirnya malam itu aku menunjukkan hal yang orang tua ku tidak inginkan, dan saat itu juga aku langsung dibawa kerumah sakit. Didorong di ranjang pasien dan sesaat kemudian, tangan kiri ku disuntik jarum infus. Gede banget tuh jarum sampe kepikiran sampe sekarang. Disuntik hampir setiap beberapa jam sekali untuk cek darah, ditemani suster disaat mama papa pulang atau ada kakek ku saat itu.

Dan sejak saat itu, aku harus menjaga fisikku. Kalau sudah berasa pusing berat, keringat dingin, bawaannya kalo berdiri itu pusing banget, bed rest dirumah selama 3 hari. Itu berlangsung dari sekolah dasar sampe awal masuk sekolah menengah. Karena di sekolah menengah, dengan sistem belajar yang sedikit berbeda dan sangat disayangkan jika harus melewatkan satu hari pun, mulai menjaga kesehatan lagi. Susu menjadi penolong ketika sedang kambuhnya. Bahkan sampai sekarang.

Hmm. Kenapa gak berobat aja? I did. Sejak lima tahun itu, aku selalu berobat dan akhirnya berbagai jenis obat pun sudah di konsumsi di badan. Susah di mengerti memang kalo masalah obat, like I'm tired with them, medicine. Aku akan selalu bilang, "aku puasa obat," kecuali kalo memang sudah benar benar mulai tepar dan butuh bed rest. Sepele memang, tapi gak semua orang ngerti apa yang di rasa ketika terus terusan minum obat ketika sakit. Yang harus kita lakuin adalah mencegah untuk tidak sakit lalu minum obat.

Kebiasaan gak minum obat ini dimulai sejak kuliah, karena waktu itu belum nemu dokter yang cocok. Jadilah selalu sedia susu, dari susu UHT sampe bear brand gitu, di kosan. Sebulan itu biasa 4-6 kotak susu, buat bekal kalo males makan atau belum sempet makan karena rapat atau deadline tugas. Akhirnya? Buat badan gendut, jadinya mudah capek, pipi chubby, dan orang mulai protes kenapa jadi gendut banget. Literally sih gak masalah di aku, tapi karena itu pun lagi banyak kegiatan. So, decided to decrease what I ate and started to ate health food. Makan 2 kali sehari dan hampir tiap waktu siang, makan dikampus, memilih untuk makan lotek (sayur sayuran terus pake sambel kacang, sejenis gado gado) dan malem nya paling makan nasi telur atau nasi goreng. Untuk pagi nya makan seadanya, kalo ada buah ya buah, jus buah atau kue tradisional sih. Mengurangi makan daging dagingan, ayam, ikan, daging sapi gitu. Banyak jalan kaki juga ke kampus. The best itu. 
Alhamdulillah badan mulai sehat lagi, lebih enak, minum obat palingan juga vitamin.

Trus sekarang gimana?

Mungkin istilah, "kalo sudah kenal uang, sudah tau gimana ngehasilin uang itu susah, jadi maunya enak" itu cukup bener ya. Maunya ya makan enak, beli ini itu, nongkrong sini situ. The best way to increase your happiness but not your health body.

Lalu ada anjuran lagi selain minum obat kalo sakit yaitu "gak usah masuk kerja, surat dokter aja" atau "ya istirahat lah". Jujur, aku bukan orang yang bisa dengan enaknya untuk begitu, sudah jadi kebiasaan dari dulu. Selama sakit masih bisa ditahan, like I said before, selama masih bisa berdiri, kenapa harus izin gak masuk dan pekerjaan pun jadi terbengkalai? Tapi ini aku. Gak semua orang bisa begini, tapi ini semacam prinsip sih dan gak semua orang bisa ngerti dengan hal ini. I'll do my best to do my job but don't give your pressure to me. Just it. I'll tell you if I'm sick but I need to do my task.

Apa ya, susah gitu di cap jadi anak yang mudah sakit dan selalu mengusahakan untuk selalu hadir dengan wajah sumringah di kala attend on my job. Orang orang tuh seakan bilang "kamu tuh gak boleh sakit", ya aku maunya juga gitu. Satu yang ku khawatir kan, gejala tipus itu kambuh.

Begitu memang ceritanya dibalik sakit-gak sakit ini. I was feel better but I need more sleep, toh weekend ini.
Semoga kamu yang baca, selalu sehat ya.


Salam sehat,
Re.


----

Jadi sekarang gimana? Feel better setelah bolak balik kantor, kerjaan makin numpuk dan banyak.
sekian

23 Agustus 2018

A little thinks : I’m not supposed to be home

Jadi ini tulisan satu tahun lalu dan akhirnya aku menemukan dia dalam folder yang tak pernah kusentuh setahun terakhir. Just read and enjoy it.

---


Beberapa waktu lalu, aku teringat akan sebuah janji. Janji ini berawal dari sebuah pertanyaan seorang supir taksi yang mengantarkanku dari adisucipto menuju jalan kaliurang. Kok taksi? Sebelum muncul perkembangan ojek online, aku adalah salah satu pengguna taksi setiap 3-4 kali per tahun dengan tujuan yang selalu sama. Jalan kaliurang – Adisucipto PP. Terus pertanyaan bapak supir apa?

Waktu itu, beliau akan mengantarkanku pulang ke kosan dari bandara, “Setelah kuliahnya selesai, bakal pulang kerumah atau cari kerja di rantau mbak?” tanya beliau dengan logat jawanya. Sempat tertegun, tapi kujawab, “Kayaknya saya pulang sih pak. Karena saya anak tengah dan adek saya laki-laki. Saya pengen nemenin orang tua di rumah. Toh disana juga banyak perusahaan (related dengan jurusanku),” jawabku tegas dan yang sebenarnya tak kupikirkan setelahnya. Tapi aku lupa apa jawaban dari bapak supir, yang kuingat aku pernah berkata seperti itu.

Banyak tahun berlalu, aku kembali merantau. Kali ini untuk bekerja dan sudah berjalan satu tahun. “I’m not supposed to be home,” itu yang terlintas dibenakku ketika teringat percakapan beberapa tahun yang lalu. Mungkin orang tuaku akan sedih kalau tahu apa yang terpikirkan olehku. Tapi aku sudah mencoba untuk tetap tinggal dan menemani mereka.

Di pertengahan tahun 2016, aku resmi menjadi seorang sarjana. Sarjana Teknik Kimia, impianku sejak lama. Tidak ada yang menuntutku untuk lulus tepat waktu, 3 tahun 9 bulan waktu yang kubutuhkan untuk tutup buku dan dinyatakan lulus. Agustus 2016, tali togaku berpindah. Disaat itulah aku resmi menjadi jobseeker (re: penggangguran). Mengisi waktu luang menunggu panggilan kerja dan wisuda kala itu, aku dan seorang teman baik membangun sebuah usaha. Usaha yang kami bangun karena hobi dan seorang teman lain menyarankan kami untuk membuka usaha ini. Walau tak berjalan lama, usaha ini membuatku punya uang jajan setiap bulannya, walau tak banyak. Akan kuceritakan lain waktu untuk lengkapnya.

Lalu di pertengahan September 2016, aku mulai mendapat tuntutan untuk segera kembali ke kampung halaman. Saat itu sedang semangat-semangatnya untuk mencari pekerjaan dan membangun usaha, mencari pelanggan dan supplier terbaik. Sebulan berlalu, awal Oktober tuntutan ini mulai gencar dibangun oleh orang tuaku. Padahal saat itu, aku sudah menjelaskan apa goal dan apa yang aku kerjakan. Akhirnya aku meminta kesempatan selama 2 minggu, karena bersamaan akan diadakan jobfair di pertengahan bulan dan meminta perpanjangan 1 minggu sambil menunggu panggilan kerja. Tapi apapun yang kulakuan saat itu, aku tetap harus kembali. Dengan berderai air mata, I was back home. Pamit dengan banyak orang, teman terbaik, sahabat tercinta, dan banyak lainnya. Dengan berat hati, dengan banyak pelukan dari orang terdekat, aku kembali, tanpa senyum merekah dan dengan langkah berat. Aku sudah rindu mereka meski aku masih di kota yang sama.

Sampai dirumah, ketika kenanganlah yang hanya tertinggal di rantau, aku makan dengan tidak selera. Aku membuka koper dan tas ransel, isinya penuh dengan hadiah perpisahan. Aku lantas menangis. Short story, aku sudah kembali ke rumah untuk selama dua minggu. Mulai banyak batasan-batasan yang dulu tak pernah berlaku ketika aku merantau. Dilarang sering keluar rumah, dibatasi ketika harus cari kerja diluar kota, tidak bisa berkunjung terlalu lama kerumah keluarga, dan banyak batasan lainnya. Aku banyak menangis di rumah. Semua yang kulakukan, walaupun itu sudah sebagaimana mestinya, tetap saja itu salah. Desember 2016, kurasa itulah puncaknya. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyadari aku kehilangan konsentrasi, aku banyak melamun, aku sering sakit, akhirnya aku jadi pelupa, dan jadi bahan cemoohan lagi. Hingga seorang teman dekat mengundangku ke nikahannya sebagai panitia kecil dinikahannya. Acara di bulan maret 2017 dan akhirnya aku bertekad untuk bisa hadir di acaranya. Aku mulai mencari pekerjaan kembali, walau harus diterima di kampung halaman, aku mencobanya. Ya, I tried many times to applied and no one accepted me at that time. Dan puncak dari segalanya terjadi ketika aku harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa aku benar-benar susah untuk kembali hidup dirantau. Saat itu, aku dilarang untuk melamar pekerjaan, dilarang untuk sakit, dibatasi untuk bertemu teman, dibatasi untuk berpergian, dan akhirnya aku mendapat cemoohan lagi. Aku sangat kecewa saat itu, kalau itu orang lain, mungkin akan kubiarkan saja. Tapi ini dilakukan oleh orang terdekatku.

Aku lahir dan besar dilingkungan yang keras selama 18 tahun dan akhirnya berpindah selama 4 tahun ke daerah rantau, membuatku banyak belajar. Banyak sekali. Aku bukan orang yang bisa menyombongkan diri, tapi kalau kata kebanyakan dari mereka, “Berpindah membuatku jadi sok lembut dan membuat orang tuaku susah,” dan aku tak pernah tahu apa yang terjadi didalam hidupku. Februari 2017, kulewati dengan banyak harapan. Aku katakan ingin liburan sejenak ke keluargaku, aku ingin mendatangi nikahan sahabatku. “Ngapain sih? Berapa lama? Emang sepenting itu kawanmu itu? Kamu udah gak peduli......?” begitu tanggapan beberapa orang. Yang kulakukan adalah mencari alasan kembali yang masuk akal dan meyakinkan mereka kembali (yes, aku menemukan jadwal pameran lowongan kerja yang wajib untuk didatangi). Walaupun pertanyaan itu terus berulang, aku coba untuk tegar kembali meski rasanya sesak dan kala itu, aku memesan tiket pesawat tanpa melihat ke belakang. Tujuanku sudah bulat. Aku ingin mulai mencari pekerjaan kembali, mendatangi acara nikahan temanku, dan mulai bekerja.

Usaha tidak membohongi hasil.

Aku kembali ke kota rantauku, yang kurindu, bertemu banyak teman dekat, makan makanan favorit, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan. Sebuah pencapaian yang bahkan tidak pernah mendapatkan pujian selama satu tahun ke belakang. Kalau kuingat percakapan yang kulakukan setiap hari dengan orang tuaku saat aku tes kerja, yang mereka ucap tidak selalu menenangkanku. Kenapa begitu? Karena mereka tahu, aku akan berpindah lagi jika aku diterima. Di pagi hari itu, interview terakhir dengan manajemen perusahaan dan aku menjadi peserta pertama pagi itu. Apa yang aku pelajari malam harinya sudah lenyap, aku malah banyak mengobrol dengan seorang teman. Interviewku cukup lama dan akhirnya aku diterima (re: sampai sekarang, I’m still here). Pesan mereka padaku saat itu adalah, “Setelah ini kamu telpon orang tuamu dan bilang ‘ma, aku lulus. Aku diterima kerja’,” aku hampir menangis saat itu dan yang kulakukan adalah melakukan pesan beliau tadi. Guess? No one answered my phone and not replied my message at that time. Padahal aku tahu, di jam aku menelepon mereka, mereka bisa mengangkat telpon atau membalas pesanku. Jeda yang cukup lama, aku menerima pesan yang tak tepat untuk disampaikan kepada orang yang penuh penantian.

You know, I did my best to be here. Dengan perbandingan 30:2000an sekian orang, aku menjadi salah satu orang dari 30 orang tadi. Dan menjadi seperti yang sekarang adalah perjalanan yang cukup panjang bagiku. Walaupun belum pernah ada pengakuan dan selalu ada tuntutan yang tidak pernah aku mengerti. Kadang kala aku butuh seorang kawan (calon) psikolog untuk menjadi tempat curhatku, kadang kucurahkan di secangkir es kopi, atau kepada seorang kawan untuk melihat dan menenangkanku saat aku mulai berderai air mata karena kekecewaanku.

Apa keluargaku tahu tentang ini dan mengerti? Tidak semua, hingga akhirnya aku benar-benar bertahan di tempatku yang sekarang. Mama mungki pernah menangis dan kecewa karena anak perempuannya yang satu ini selalu bisa membalas perkataannya dan mungkin juga menangis dengan apa yang dihadapi dan diterima anaknya yang keras kepala ini.

“Yes, I’m not supposed to be home and I wanna have life far away from home.”

That exactly that I’m thinking now. Aku membayar untuk tinggal dirumah dengan selalu kembali setiap 3 atau 4 bulan sekali ke rumah. Aku tidak ingin kecewa dan sakit lagi. Mentality disorder terlalu jahat daripada sakit tipusku kambuh.

Semua orang punya alasan untuk tinggal dan pergi. Yang kita dibutuhkan bukanlah larangan untuk seseorang tinggal dan pergi sesuai keinginan kita tapi pasti selalu ada alasan dibalik keputusan untuk tetap tinggal dan pergi. Andai aku ingat siapa bapak taksi yang menanyakan pertanyaanku di awal paragraf, aku ingin memberikan jawaban baru, dari seorang aku yang sudah mulai dewasa.

“Pak, saya ingin membahagiakan orang tua saya dengan sepenuh hati, dengan cinta yang tulus. Bukan karena paksaan dan penuh kekecewaan. Saya ingin menunjukkan kehadiran saya dengan senyum yang merekah dan penuh cerita-cerita yang tidak pernah mereka dengar sejak saya merantau 6 tahun lalu. Kalaupun mereka rindu, saya bisa pulang ke rumah ataupun mereka bisa mengunjungi saya.”


With love,
re.

10 Desember 2017

Kita dan Nanti

Saya diam ketika hendak bicara
Kamu bicara dengan lagak kasarmu
Apa kamu marah?

Saya hanya terhenyak ketika semua itu tidak terjadi
Hanya saja, kamu terkejut ketika kamu tahu,
Saya tak akan berbicara padamu
Tapi kepada kita di masa depan.

Akankah kita masih akan bersama?