Jadi ini tulisan satu tahun lalu dan akhirnya aku menemukan dia dalam folder yang tak pernah kusentuh setahun terakhir. Just read and enjoy it.
---
Beberapa waktu lalu, aku teringat akan sebuah janji. Janji
ini berawal dari sebuah pertanyaan seorang supir taksi yang mengantarkanku dari
adisucipto menuju jalan kaliurang. Kok taksi? Sebelum muncul perkembangan ojek
online, aku adalah salah satu pengguna taksi setiap 3-4 kali per tahun dengan
tujuan yang selalu sama. Jalan kaliurang – Adisucipto PP. Terus pertanyaan
bapak supir apa?
Waktu itu, beliau akan mengantarkanku pulang ke kosan dari
bandara, “Setelah kuliahnya selesai, bakal pulang kerumah atau cari kerja di
rantau mbak?” tanya beliau dengan logat jawanya. Sempat tertegun, tapi kujawab,
“Kayaknya saya pulang sih pak. Karena saya anak tengah dan adek saya laki-laki.
Saya pengen nemenin orang tua di rumah. Toh disana juga banyak perusahaan
(related dengan jurusanku),” jawabku tegas dan yang sebenarnya tak kupikirkan
setelahnya. Tapi aku lupa apa jawaban dari bapak supir, yang kuingat aku pernah
berkata seperti itu.
Banyak tahun berlalu, aku kembali merantau. Kali ini untuk
bekerja dan sudah berjalan satu tahun. “I’m not supposed to be home,” itu yang
terlintas dibenakku ketika teringat percakapan beberapa tahun yang lalu. Mungkin
orang tuaku akan sedih kalau tahu apa yang terpikirkan olehku. Tapi aku sudah
mencoba untuk tetap tinggal dan menemani mereka.
Di pertengahan tahun 2016, aku resmi menjadi seorang
sarjana. Sarjana Teknik Kimia, impianku sejak lama. Tidak ada yang menuntutku untuk
lulus tepat waktu, 3 tahun 9 bulan waktu yang kubutuhkan untuk tutup buku dan
dinyatakan lulus. Agustus 2016, tali togaku berpindah. Disaat itulah aku resmi
menjadi jobseeker (re: penggangguran). Mengisi waktu luang menunggu panggilan
kerja dan wisuda kala itu, aku dan seorang teman baik membangun sebuah usaha.
Usaha yang kami bangun karena hobi dan seorang teman lain menyarankan kami
untuk membuka usaha ini. Walau tak berjalan lama, usaha ini membuatku punya
uang jajan setiap bulannya, walau tak banyak. Akan kuceritakan lain waktu untuk
lengkapnya.
Lalu di pertengahan September 2016, aku mulai mendapat
tuntutan untuk segera kembali ke kampung halaman. Saat itu sedang
semangat-semangatnya untuk mencari pekerjaan dan membangun usaha, mencari
pelanggan dan supplier terbaik. Sebulan berlalu, awal Oktober tuntutan ini mulai
gencar dibangun oleh orang tuaku. Padahal saat itu, aku sudah menjelaskan apa
goal dan apa yang aku kerjakan. Akhirnya aku meminta kesempatan selama 2
minggu, karena bersamaan akan diadakan jobfair di pertengahan bulan dan meminta
perpanjangan 1 minggu sambil menunggu panggilan kerja. Tapi apapun yang
kulakuan saat itu, aku tetap harus kembali. Dengan berderai air mata, I was
back home. Pamit dengan banyak orang, teman terbaik, sahabat tercinta, dan
banyak lainnya. Dengan berat hati, dengan banyak pelukan dari orang terdekat,
aku kembali, tanpa senyum merekah dan dengan langkah berat. Aku sudah rindu
mereka meski aku masih di kota yang sama.
Sampai dirumah, ketika kenanganlah yang hanya tertinggal di
rantau, aku makan dengan tidak selera. Aku membuka koper dan tas ransel, isinya
penuh dengan hadiah perpisahan. Aku lantas menangis. Short story, aku sudah
kembali ke rumah untuk selama dua minggu. Mulai banyak batasan-batasan yang
dulu tak pernah berlaku ketika aku merantau. Dilarang sering keluar rumah, dibatasi
ketika harus cari kerja diluar kota, tidak bisa berkunjung terlalu lama kerumah
keluarga, dan banyak batasan lainnya. Aku banyak menangis di rumah. Semua yang
kulakukan, walaupun itu sudah sebagaimana mestinya, tetap saja itu salah. Desember
2016, kurasa itulah puncaknya. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyadari aku
kehilangan konsentrasi, aku banyak melamun, aku sering sakit, akhirnya aku jadi
pelupa, dan jadi bahan cemoohan lagi. Hingga seorang teman dekat mengundangku
ke nikahannya sebagai panitia kecil dinikahannya. Acara di bulan maret 2017 dan
akhirnya aku bertekad untuk bisa hadir di acaranya. Aku mulai mencari pekerjaan
kembali, walau harus diterima di kampung halaman, aku mencobanya. Ya, I tried
many times to applied and no one accepted me at that time. Dan puncak dari segalanya
terjadi ketika aku harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa aku benar-benar
susah untuk kembali hidup dirantau. Saat itu, aku dilarang untuk melamar
pekerjaan, dilarang untuk sakit, dibatasi untuk bertemu teman, dibatasi untuk
berpergian, dan akhirnya aku mendapat cemoohan lagi. Aku sangat kecewa saat
itu, kalau itu orang lain, mungkin akan kubiarkan saja. Tapi ini dilakukan oleh
orang terdekatku.
Aku lahir dan besar dilingkungan yang keras selama 18 tahun
dan akhirnya berpindah selama 4 tahun ke daerah rantau, membuatku banyak
belajar. Banyak sekali. Aku bukan orang yang bisa menyombongkan diri, tapi
kalau kata kebanyakan dari mereka, “Berpindah membuatku jadi sok lembut dan
membuat orang tuaku susah,” dan aku tak pernah tahu apa yang terjadi didalam
hidupku. Februari 2017, kulewati dengan banyak harapan. Aku katakan ingin
liburan sejenak ke keluargaku, aku ingin mendatangi nikahan sahabatku. “Ngapain
sih? Berapa lama? Emang sepenting itu kawanmu itu? Kamu udah gak peduli......?”
begitu tanggapan beberapa orang. Yang kulakukan adalah mencari alasan kembali
yang masuk akal dan meyakinkan mereka kembali (yes, aku menemukan jadwal
pameran lowongan kerja yang wajib untuk didatangi). Walaupun pertanyaan itu
terus berulang, aku coba untuk tegar kembali meski rasanya sesak dan kala itu,
aku memesan tiket pesawat tanpa melihat ke belakang. Tujuanku sudah bulat. Aku
ingin mulai mencari pekerjaan kembali, mendatangi acara nikahan temanku, dan
mulai bekerja.
Usaha tidak membohongi hasil.
Aku kembali ke kota rantauku, yang kurindu, bertemu banyak
teman dekat, makan makanan favorit, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan. Sebuah
pencapaian yang bahkan tidak pernah mendapatkan pujian selama satu tahun ke
belakang. Kalau kuingat percakapan yang kulakukan setiap hari dengan orang
tuaku saat aku tes kerja, yang mereka ucap tidak selalu menenangkanku. Kenapa
begitu? Karena mereka tahu, aku akan berpindah lagi jika aku diterima. Di pagi
hari itu, interview terakhir dengan manajemen perusahaan dan aku menjadi
peserta pertama pagi itu. Apa yang aku pelajari malam harinya sudah lenyap, aku
malah banyak mengobrol dengan seorang teman. Interviewku cukup lama dan
akhirnya aku diterima (re: sampai sekarang, I’m still here). Pesan mereka
padaku saat itu adalah, “Setelah ini kamu telpon orang tuamu dan bilang ‘ma,
aku lulus. Aku diterima kerja’,” aku hampir menangis saat itu dan yang
kulakukan adalah melakukan pesan beliau tadi. Guess? No one answered my phone
and not replied my message at that time. Padahal aku tahu, di jam aku menelepon
mereka, mereka bisa mengangkat telpon atau membalas pesanku. Jeda yang cukup
lama, aku menerima pesan yang tak tepat untuk disampaikan kepada orang yang
penuh penantian.
You know, I did my best to be here. Dengan perbandingan
30:2000an sekian orang, aku menjadi salah satu orang dari 30 orang tadi. Dan
menjadi seperti yang sekarang adalah perjalanan yang cukup panjang bagiku.
Walaupun belum pernah ada pengakuan dan selalu ada tuntutan yang tidak pernah
aku mengerti. Kadang kala aku butuh seorang kawan (calon) psikolog untuk
menjadi tempat curhatku, kadang kucurahkan di secangkir es kopi, atau kepada
seorang kawan untuk melihat dan menenangkanku saat aku mulai berderai air mata
karena kekecewaanku.
Apa keluargaku tahu tentang ini dan mengerti? Tidak semua,
hingga akhirnya aku benar-benar bertahan di tempatku yang sekarang. Mama mungki
pernah menangis dan kecewa karena anak perempuannya yang satu ini selalu bisa
membalas perkataannya dan mungkin juga menangis dengan apa yang dihadapi dan
diterima anaknya yang keras kepala ini.
“Yes, I’m not supposed to be home and I wanna have life far
away from home.”
That exactly that I’m thinking now. Aku membayar untuk
tinggal dirumah dengan selalu kembali setiap 3 atau 4 bulan sekali ke rumah.
Aku tidak ingin kecewa dan sakit lagi. Mentality disorder terlalu jahat
daripada sakit tipusku kambuh.
Semua orang punya alasan untuk tinggal dan pergi. Yang kita dibutuhkan
bukanlah larangan untuk seseorang tinggal dan pergi sesuai keinginan kita tapi
pasti selalu ada alasan dibalik keputusan untuk tetap tinggal dan pergi. Andai
aku ingat siapa bapak taksi yang menanyakan pertanyaanku di awal paragraf, aku
ingin memberikan jawaban baru, dari seorang aku yang sudah mulai dewasa.
“Pak, saya ingin membahagiakan orang tua saya dengan sepenuh
hati, dengan cinta yang tulus. Bukan karena paksaan dan penuh kekecewaan. Saya
ingin menunjukkan kehadiran saya dengan senyum yang merekah dan penuh
cerita-cerita yang tidak pernah mereka dengar sejak saya merantau 6 tahun lalu.
Kalaupun mereka rindu, saya bisa pulang ke rumah ataupun mereka bisa
mengunjungi saya.”
With love,
re.